Pages

Sunday, November 3, 2024

Rutinan MT. PAPERNUSA Cab. Bandung Raya dampingi Pengurusan Sertifikat Halal bagi UMKM

 Bandung, 3 November 2024 | SURYAMEDAR.COM 

Bandung termasuk kota yang banyak sekali penduduk perantaunya, tidak heran jika di kota ini juga dibentuk Paguyuban Perantau Nusantara disingkat PAPERNUSA Pengurus Cabang Bandung Raya, sejak didirikan paguyuban ini bukan sekedar ajang silaturahmi sesama perantau saja, tetapi PAPERNUSA DPC Bandung Raya juga memberikan pendampingan untuk pengurusan sertifikat halal yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat, dikoordinir dan dibantu oleh Ibu Dewi sebagai relawan pendampingan sertifikasi halal pada hari ini bertempat di kediaman Bapak Giyamto (Baso Pentol) kp. Sukagalih RT02/06 No. 84 kelurahan Pasirjati kecamatan ujung Berung kota Bandung, adapun untuk gelombang ke empat ini terdapat 21 (dua puluh satu) UMKM yang telah selesai pengurusan sertifikat halal nya dan satu di antaranya termasuk mengurus PIRT untuk produk GRANOYA.


Sebagaimana acara rutin yang diadakan yaitu berupa Majelis Ta'lim (Tawashul, Dzikir & Mawlid)  yang di bina oleh Syaikh Arif (Pengasuh Pesantren Suryamedar pusat Cileunyi Bandung) tersebut dibuka oleh ketua DPC PAPERNUSA Mas Aji Farhan juga dihadiri oleh Kang Mas KH. Agus sebagai ketua umum PAPERNUSA yang tinggal di jakarta, beliau memberikan wejangan diantaranya "Sangat beruntung rumah yang di dalamnya diadakan Majelis Dzikir karena para malaikat akan ikut hadir dan memberkahi rumah tersebut" dan beberapa nasehat lainnya, beliau juga menyampaikan bahwa PAPERNUSA juga telah dibentuk di beberapa kabupaten kota bahkan hingga ke Malaysia. 

Syaikh Arif menyampaikan rasa syukurnya bisa bergabung dengan Paguyuban Perantau Nusantara tersebut dan pada hakekatnya kita semua juga perantau di alam dunia yang kelak akan kembali ke kampung akherat, maka orang yang beruntung ialah yang dapat mengumpulkan bekal untuk pulang kampung. 

Kegiatan  majelis ini akan terus diadakan secara rutin di sekitaran bandung raya sambil terus terjun langsung untuk memberikan kemanfaatan yang banyak bagi para perantau khususnya di Bandung Raya. 

Thursday, April 4, 2024

Dr. Rosye dukung H. Saiful Huda (Ketua DPW PKB) untuk mengikuti Pilkada Jawa Barat

 Bandung, Suryamedar.Com 

Pemilihan kepala Daerah serentak akan diadakan beberapa bulan kedepan, saat ini mulai tampak beberapa pejabat publik yang sedang berkompetisi untuk meraih suara rakyat terbanyak, Jawa Barat juga termasuk Daerah yang akan ikut didalam kontes demokrasi tersebut.


Ditemui oleh kontributor Suryamedar.Com, Dr. Rosye Rosaria Zaena., SE., MSI., AK., CA., CPRM., CAVP yang merupakan salahsatu peserta Calon DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa untuk Dapil Jabar satu menyampaikan dukungannya untuk Ketua DPW Jabar H. Saiful Huda agar mengikuti kontestan tersebut.


Sunday, February 4, 2024

Eyang Santri, Pendukung Diponegoro di Kaki Gunung Salak

Hampir 66 tahun, sosok Pangeran Djojokusumo menghilang dari peredaran setelah Perang Jawa selesai pada 1830. Pendukung dan penyokong dana Pangeran Diponegoro itu bersembunyi di kaki Gunung Salak menjadi seorang kiai, Eyang Santri Girijaya.


Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merupakan salah satu jalur pendakian menuju Puncak 1 Gunung Salak, yang mempunyai ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut (mdpl). Udara sejuk menambah keasrian pemandangan perkebunan, persawahan, dan permukiman penduduk. Dari kejauhan terlihat rapatnya pepohonan hutan tropis di lereng gunung.

Para pendaki gunung atau wisatawan yang menempuh jalur tersebut akan melewati sebuah kompleks pemakaman bernama Astana Girijaya. Di kompleks pemakaman itu terbaring sosok kiai bernama Muhammad Santri. Masyarakat sekitar mengenal sang kiai dengan sebutan Eyang Santri Girijaya. Ironisnya, tak semuanya tahu mengenai sosok Eyang Santri.

Bangunan Astana Girijaya tertata cukup rapi dengan benteng tembok bercat putih dan berpintu kayu jati. Cungkupnya mirip dengan bangunan khas pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, walau ini versi mininya. Tak jauh dari astana itu terdapat plang warna hijau bertulisan ‘Astana Girijaya K.P.H Djojokoesoemo (Kyai Muhammad Santri). Mangkunagaran Surakarta Hadiningrat'.

Dari penelusuran detikX, tokoh Eyang Santri atau Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Djojokusumo merupakan salah satu pendukung Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa, yang berkobar pada 1825-1830. Ia disebutkan melarikan diri dari Keraton Mangkunegaran Surakarta karena diburu pasukan Belanda dan antek-anteknya, yang tak lain kerabat Keraton sendiri, ke wilayah Jawa Barat, persisnya ke Cidahu.

“Jejaknya menghilang dari peredaran selama 66 tahun,” kata Raden Ayu Ahdiyati Samita, salah satu cucu Eyang Santri Girijaya (KPH Djojokusumo), yang ditemui detikX di rumahnya yang berada di samping Kompleks Astana Girijaya, Selasa, 21 Juni 2022.

Demi negeri ini, beliau menanggalkan gelar bangsawannya. Dia tinggalkan istananya yang megah demi negeri ini."

Menurut perempuan berusia 71 tahun yang akrab disapa Bu Hajah Tito itu, kakeknya lahir pada 1771 di Keraton Mangkunegaran dan wafat pada 1929 di Girijaya pada usia 158 tahun. Ia merupakan putra pasangan KPH Prabuwijoyo I dan Tri Kusumo, putri Cakraningrat dari Madura. Djojokusumo masih terhitung cucu Pangeran Samber Nyowo (Raden Mas Said), pendiri trah Dinasti Mangkunegaran.

Ia juga memiliki darah keturunan Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo, Panembahan Senopati (Danang Sutawijoyo), Ki Ageng Selo, hingga ke Bondan Kejawen dan Raja Majapahit Brawijaya V. Eyang Santri juga memiliki darah keturunan dari Wali Songo dan Raden Patah Demak, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Ampel, dan Syekh Maulana Maghribi. “Jadi dari garis ibu, Eyang Santri ada keturunan Wali Songo,” tutur Hajah Tito.

Hajah Tito menuturkan, kakeknya terlibat dalam Perang Jawa sebagai pendukung Diponegoro bersama Raja Kasunanan Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono VI. Djojokusumo memiliki kekerabatan yang erat dengan Diponegoro karena merupakan paman dan keponakan. Dalam Perang Jawa, Diponegoro didanai Pakubuwono VI, yang uangnya dicarikan oleh Djojokusumo.

“Jadi penyandang dana Perang Diponegoro adalah Pakubuwono VI dan yang mencarikan dananya, ya, Pangeran Djojokusumo. Waktu itu belum pakai nama Eyang Santri. Itu buat biaya Perang Jawa selama lima tahun dari 1825 sampai 1830,” jelas Hajah Tito.

Dalam buku Kuasa Ramalan jilid 2 karya Peter Carey (2012), Diponegoro kerap melakukan pertemuan rahasia dengan beberapa sekutu bekas Raja Yogyakarta kedua, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono II, yang juga kakek Diponegoro sendiri. Salah satunya adalah dengan Djojokusumo, yang dikenal sebagai pendukung Hamengku Buwono II paling gigih ketika melawan serangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta atau yang dikenal sebagai peristiwa Geger Sepehi (Sepoy) pada Juni 1812.
Diponegoro bertemu dengan Djojokusumo dan adiknya untuk berkoordinasi rencana penggalangan dukungan dari berbagai desa di tanah-jabatan mereka apabila perlawanan terhadap Belanda dimulai. “Pangeran Djojokusumo satu di antara pendukung tergigih bekas Raja Yogya itu pada saat serangan Inggris, Juni 1812, dan segera menjadi panglima tentara Diponegoro yang tepercaya,” tulis Peter Carey.
Ketika perang berakhir atau Diponegoro ditangkap Belanda, Pakubuwono VI juga ditangkap dan dibuang ke Ambon. Di kota pengasingan itulah Pakubuwono VI dieksekusi tembak mati. Sementara itu, Djojokusumo, yang juga dicurigai Belanda, keluar meninggalkan lingkungan Keraton Mangkunegaran.
“Demi negeri ini, beliau menanggalkan gelar bangsawannya. Dia tinggalkan istananya yang megah demi negeri ini. Betapa tidak enaknya Eyang Santri ketika hidup di luar Istana,” tutur Hajah Tito lagi.
Untuk menghindari kejaran pasukan Belanda dan antek-anteknya, Djojokusumo pergi mengembara ke arah barat Pulau Jawa selama 66 tahun. Ia sempat pergi ke Kebumen, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, Karawang, sampai Banten. Ia selalu menutupi identitasnya dengan menggunakan nama samaran. Ketika di Kuningan ia menyandang nama Zakaria, dan di Cibatok, Bogor, menyandang nama Hasan.
Djojokusumo juga sempat tinggal di kawasan Pasir Jawa, Cigombong, Bogor, Jawa Barat. Di tempat itulah ia menikah dengan seorang gadis setempat bernama Iyok, tapi tak memiliki keturunan. Ia mengangkat anak bernama Raden Jayasumantri. Setelah itu, menikah lagi dengan Ratu Sarifah, salah seorang putri keturunan Pangeran Sogiri bin Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, yang tinggal di Cimaphar, Bogor.
Dari pernikahan kedua, Djojokusumo mendapatkan seorang putra bernama Raden Mas Suparman Jayakusuma, tak lain ayah kandung Bu Haji Titto (RA Ahdiyati Samita). “Nah, pas tinggal di Girijaya, Cidahu, Sukabumi tahun 1896, Djojokusumo menggunakan nama Kiai Muhammad Santri, Kiai Santri, atau Eyang Santri. Saat itu sudah menjadi guru Pakubuwono X. Disangka Belanda mah, Djojokusumo sudah meninggal dunia,” jelas Hajah Tito lagi.
Hajah Tito menunjukkan sejumlah dokumen autentik tentang keberadaan sosok kakeknya itu. Di antaranya sebuah buku tulisan tangan Eyang Santri berisi pesan-pesan untuk kalangan Keraton Mangkunegaran beraksara Jawa. Peninggalan milik Eyang Santri berupa kitab Tarekat Syattariyah karya Abdullah Asy-Syatar bertuliskan Jawa pegon.
Tarekat Syattariyah ini berkembang di Nusantara sejak abad ke-15 melalui para bangsawan di Cirebon ke keraton-keraton lainnya. Mereka yang menganut tarekat ini mayoritas memilih meninggalkan keraton. Mereka memilih menjadi kiai, ulama, atau membangun pondok pesantren. Mereka ini sangat benci terhadap penjajah Belanda, seperti halnya Diponegoro dan Djojokusumo. 
Bahkan Eyang Santri dianggap sebagai salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah sesuai penelitian yang dilakukan oleh Dr KH Ali M Abdillah, pengasuh Pondok Pesantren Al Rabbani Islamic Collage, Cikeas, Bogor. Saat itu Kiai Ali tengah merampungkan disertasi doktoralnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat.
Ia mengkaji ajaran sufisme yang dikembangkan Eyang Santri. Hasilnya dibukukan dengan judul Sufisme Jawa, Ajaran Martabat Tujuh Sufi Agung Mangkunegaran Kyai Muhammad Santri (2021). Dalam bukunya, disebutkan bahwa Eyang Santri merupakan tokoh tersembunyi yang memiliki peran penting dalam penyebaran ilmu tasawuf falsafi, sebagai tokoh perlawanan kolonialisme, dan tokoh penggerak kemerdekaan (nasionalisme).
Bukti autentik tentang Eyang Santri menjadi guru para pembesar Jawa dan orang Belanda pun tercantum di dalam buku Geschiedenis der Onndernemingen van Het Mangkoenagorosche Rijk yang ditulis Martinus Nijhoff pada 1950. Juga dalam buku Kenang-kenangan Dokter Soetoemo yang ditulis Paul W van der Veur pada 1921 dan diterbitkan pada 1984.
Sayangnya, selama ini orang tak banyak mengetahui sejarah Eyang Santri yang sebenarnya. “Jangankan tingkat nasional, di tingkat RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga) saja nggak ada yang tahu siapa Kiai Santri. Ini terlalu ironis sekali, karena mereka nggak ngerti sejarah,” pungkas Hajah Tito.
Dikutip dari News.Detik.Com